Bahayanya Mikoorganisme Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya
Mikoorganisme Patogen Penyebab Penyakit Pada Makanan
a. Bakteri
Berdasarkan klasifikasi diatas, ada dua intoksikasi pangan utama yang disebabkan bakteri, yaitu (1) botulisme, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum dan (2) intoksikasi stapilokoki, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus.
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi terlihat setelah 3-12 jan setelah memakan bahan makanan tersebut dan ditandai oleh muntah-muntah ringan dan diare.
kuman dan parasit penyebab penyakit |
Indeks pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok:
- infeksi dimana makanan tidak menunjang pertumbuhan patogen tersebut, misalnya, pathogen penyebab tuberkolosis (Mycobacterium bovis dan M. tubercolosis), brucellosis (Brucela aortus, b.melitensis), diprteri (Corynebacterium diptheriae), disentri oleh Campylobacter, demam tifus,kolera, hepatitis, dan lain-lain; dan
- infeksi dimana makanan berfungsi sebagai medium kultur untuk pertumbuhan patogen hingga mencapai jumah yang memadai untuk menimbulkan infeksi bagi pengkomsumsi makanan tersebut; infeksi ini mencakup Salmonela spp, Listeria, vibrio parahaemolyticus, dan Escherichia coli enteropatogenik. Penularan infeksi jenis kedua ini lebih mewabah dari pada jenis-jenis gangguan perut yang lain. Gejala-gejala yang disebabkan infeksi mulai terlihat setelah setelah 12-24 jam dan ditandai dengan sakit perut bagian bawah (abdominal pains), pusing, diare, muntah-muntah, demam dan sakit kepala.
b. Non-Bakteri
Kapang
Selain oleh bakteri, kapang juga dapat menimbulkan penyakit yang dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) infeksi oleh fungi yang disebut mikosis dan (2) keracunan yang disebabkan oleh tertelannya metabolik beracun dari fungi atau mikotoksikosis.
Mikotoksikosis biasanya tersebar melalui makanan, sedangkan mikosis tidak melalui makanan tetapi melalui kulit atau lapisan epidermis,rambut dan kuku akibat sentuhan, pakaian, atau terbawa angin. Senyawa beracun yang dihasilkan fungi disebut mikotoksin.
Toksin ini dapat menimbulkan gejala skit yang kadang-kadang fatal. Beberapa diantaranya bersifat karsinogen. Beberapa mikotoksin bersifat halusinogenik, misalnya asam lisergat.
Virus
Virus adalah mikroorganisme ultramikroskopik dan dapat lolos filter 0,22 µm. Virus berkembang biak hanya pada inang yang sesuai dan tidak dapat tumbuh diluar inang.
Beberapa virus dapat menyebabkan ganggun pencernaan dan ciri-cirinya hampir sama dengan yang ditimbulkan oleh bakteri. Sebagian virus juga dapat menginfeksi tanpa adanya simpton sampai virus tersebut menyerang jaringan sel yang lain, misalnya jaringan saraf, melalui aliran darah.
Transmisi virus yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan ini dapat melalui aerosol atau kontak langsung degan orang yang terinfeksi.
Enterovirus diketahui menyebar melalui rute fekal-oral, sedangkan virus polio (dapat menyebabkan gangguan pencernaan, demam dan kelumpuhan) menyebar melalui rute fekal-oral, sedangkan virus hepatitis B tersebar melalui kontak langsung dan transfusi darah. Rotavirus juga merupakan virus yang penting dan secara sporadis dapatmenyebabkan diare akut, demam dan seing kali muntah-muntah. Virus ini telahdilaporkan dapat menyebar melalui air.
Rickettsiae
Rickettsiae adalah bakteri yang berukuran kecil dan tidak pernah berhasil dikultivasi pada medium sintetik. Rickettsia berbeda dengan virus karena mikroorganisme ini mempunyai DNA dan RNA mempunyai beberapa struktur yang dimiliki bakteri.
Coxiella burnetii, penyebab demam Q, ditimbulkan oleh mikroorganisme ini adalah sakit kepala dan demam. Penularannya melalui susu dari sapi yang terinfeksi. C. burnetii telah dilaporkan relatif tahan panas dan dapat membentuk spora, sehingga kemungkinan bisa terdapat pada susu pasteurisasi jika susu tersebut berasal dari sapi yang terinfeksi.
Prion
Prion menyebabkan penyakit degeneratif pada sistem syaraf pusat pada hewan dan manusia. Penyakit scrapie pada kambing merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh prion. Penyakit yang sama juga telah ditemukan pada sapi, bovine spongiform encephalopathy (BSE).
Prion tersebar melalui pakan dan penularan terhadap manusia kini mendapat perhatian yang serius.
Prion sangat resisten terhadap panas, lebih tahan daripada spora bakteri dan merupakan bentuk protein yang abnormal dari inang. Pencegahan penularan melalui pencegahan pemberian pakan dari bahan-bahan yang terinfeksi dan pencegahan komsumsi daging dan bagian-bagian hewan yang terinfeksi.
Protozoa dan parasit
Giardia, Cryptosporidium, Balantidium, Entamoeba dan protozoa lainnya serta parasit seperti cacing pita, dapat menginfeksi melali air dan makanan. Beberapa spesies dapat bertahan pada lingkungan yang extrim untuk beberapa minggu dan dapat klorinasi.
Gejala-gejala yang dapat ditimbulkan sama dengan gejala gangguan yang ditimbulkan oleh bakteri dan penularannya melalui rute fekal-oral.
Makanan Yang Terserang Mikroorganisme Patogen
a. Daging
Bahan pangan yang berasal dari hewan merupakan sumber utama bakteri penyebab infeksi dan intoksikasi. Mikroorganisme yang terdapat pada hewan hidup dapat terbawa ke dalam daging segar dan mungkin bertahan selama proses pengolahan.
Banyak hewan-hewan yang disembelih membawa mikroorganisme seperti Salmonella dan Campylobacter, selain mikrooranisme yang secara alami terdapat pada saluran pencernaan seperti Clostridium perfringens, Escherichia coli, Yersinia entercolitica dan Listeria monocytogenes. Proses pemotongan unggas secara kontinyu, meningkatkan penularan mikroorganisme dari karkas yang satu ke yang lainnya.
Demikian juga penggilingan daging dalam pembuatan daging cincang dapat menyebarkan mikroorganisme, sehingga dagin cincang merupakan produk daging yang beresiko tinggi.
b. Telur
Kulit telur kemungkinan mengandung Salmonella yang berasal dari kotoran ayam dan mungkin mengkontaminasi isi telur pada waktu telur dipecahkan.
Di negara-negara Eropa terjadi peningkatan gangguan pencernaan karena infeksi oleh S. enteritidis yang berasal dari telur yang telah terinfeksi. Inggris memberikan peringatan terhadap penggunaan telur mentah pada makanan yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut.
c. Produk-produk Susu
Susu yang telah mengalami pengolahan yang benar, misalnya pasteurisasi dan sterilisasi, merupakan produk yang aman. Akan tetapi susu segar yang diperoleh dari hewan sehat bisa terkontaminasi dari hewan yang menyusui atau dari peralatan dan lingkungan pemerahan susu.
Di Inggris telah dilaporkan keracunan makanan (Salmonellosis) karena mengkonsumsi susu sapi segar. Gangguan pencernaan juga kadang-kadang terjadi akrena prises pemanasan susu tidak cukup.
Produk-produk susu yang disiapkan dari susu yang tidak mengalami proses pemanasan merupakan produk yang potensial mengandung Staphylococus auerus, Bacillus cereus, Yersenia enterocolitia monocytogenes.
Pengasaman susu dan fermentasi susu dapat menghilangkan atau menghambat mikroorganisme patogen enterik, tetapi beberapa mikroorganisme masih bisa tahan. Walaupun susu telah mengalami pemanasan, kontaminasi dapat terjadi selama penanganan produk atau karena penambahan ingridien yang tidak mengalami perlakuan dekontaminasi.
Adanya L. monocytogenes pada keju yang dimatangkan diduga karena rekontaminasi selama proses pembuatan dan penanganan keju.
d. Ikan dan Kerang-kerangan
Ikan dan kerang-kerangan dapat terkontaminasi dari lingkungan hidup ikan tersebut atau dari lingkungan pengolahan. Jika ikan tersebut diperoleh dari laut yang telah terkena polusi limbah, ikan tersebut kemungkinan terkontaminasi bakteri patogen.
Vibrio parahaemolyticus adalah kontaminan yang umum terdapat pada ikan dan makanan laut lainnya terutama dari perairan Asia Timur. Bakteri ini dapat dihilangkan dengan pemanasan, akan tetapi sanitasi yang kuramg baik dapat menyebabkan terjadinya rekontaminasi.
Dalam kerang-kerangan telah ditemukan mikroorganisme patogen seperti Salmonella, E. coli, V. parahemolyticus, clostridia dan virus. Bakteri dapat dihilanhkan dengan cara ini kurang efektif untuk virus.
e. Buah-buahan, Sayur-sayuran dan Serealia
Dalam keadaan segar, bahan pangan nabati kemungkinan terkontaminasi oleh mikroorganisme dari tanah dimana tanaman tersebut tumbuh.
Buah-buahan karena jauh daru tanah, kemungkinan untuk terkontaminasi lebih kecil dibandingkan dengan sayuran atau bahan pangan yang lain yang kontak langsung dengan tanah. Kebersihan saluran juga berpengaruh terhadap kualitas mikrobiologi pangan bahan pangan nabati.
Penggunaan air dari irigasi yang tercemardan penggunaan pupuk kandang atau kotoran manusia sebagai pupuk beresiko terhadap kontaminasi oleh salmonella (termasuk S. typhi), Shigella dan V. cholerae serta virus. Pencucian dan pembilasan dengan air yang mengandung semua bakteri kecuali sporanya.
f. Makanan kering
Bakteri yang dominan mengkontaminasi makanan kering adalah kelompok Clostridium dan Bacillus. Spora kedua bakteri ini dapat bertahan pada proses pengeringan. Penggunaan suhu pengeringan yang tidak bekterisidal, memungkinkan bakteri seperti salmonella dan E. coli tetap ada setelah pengeringan.
Makanan-makanan yang demikian aman dalam keadaan kering, akan tetapi jika direhidrasi maka harus diperlakukan seperti halnya makanan segar. Karena herbs dan rempahrempah seringkali terkontaminasi spora dalam jumlah banyak, maka penambahan ingredian harus dilakukan sebelum proses pemanasan.
g. Makanan siap santap
Makanan siap santap biasanya dijual dalam bentuk beku atau didinginkan. Makanan beku, selama masih beku dapat dinyatakan .aman. akan tetapi untuk makanan yang didunginkan haru sdiperhatikan umur simpannya.
Mikroorganisme yang ditemikan pada makanan siap santap adalah mikroorganisme yang tahan proses pemanasan, Misalnya Clostridium dan Bacillus (Sporanya) dan mikroorganisme yang mengkontaminasi selama penaganan misalnya Y. Enterocolitica Dan I. Monocytogenes. Kedua bakteri ini dapat tumbuh pada suhu rendah (Refrigertor).
Dengan demikian dalam memproduksi makanan siap santap yang disimpan dingin harus diperhatikan sanitasi dan hingga selama pengolahan, kontrol suhu selama penyimpanan dan umur simpan produk.
Sumber Infeksi dan Pencegahannya
Beberapa makanan bisa dinyatakan aman untuk dikonsumsi, jika makanan-makanan tersebut diproses dengan proses dekontaminasi yang terkontrol dengan baik seperti pasteurisasi dan sterilisasi, seperti susu sterilisasi atau pasteurisasi, es krim dan makanan-makanan kaleng.
Proses dekontaminasi air kemasan dilakukan dengan klorinasi dan filtrasi. Makanan lain seperti roti, tepung, madu, manisan buah termasuk makanan yang dinyatakan aman, karena kompisisi dan proses pengolahan makanan tersebut menyebabkan kondisi yang tidak mendukung pertumbuhan mikroorganisme.
Beberapa sifat makanan dan bahan pangan, seperti; kadar air rendah (aw<0.86) atau kadar gula atau kadar garam yang tinggi dan pH kurang dari 4,5. Sifat-sifat ini biasa digunakan dalam pengawetan makanan yang mana dewasa ini masyarakat sudah mulai dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan atau bahan pangan segar dari pada makanan atau bahan pangan yang sudah diawetkan.
Hal ini memberi kesempatan mikroorganisme untuk mengkontaminasi gangguan saluran pencernaan jika bahan pangan segar tersebut tidak ditangani dengan baik. Terdapat tiga jalur yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk mengkontaminasi makanan, yaitu bahan baku dan ingredien, pekerja pada pengolahan makanan dan lingkungan pengolahan.
Identifikasi Kerusakan Pakan
Kerusakan bahan pangan dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu:
- Kerusakan fisik karena benturan, Sayatan, dan lain-lain.
- Kerusakan kimia karena terjadinya reaksi kimia, baik enzimaris maupun non enzimatis, seperti ketengikan, pencoklatan , dan lain-lain.
- Kerusakan biologis yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
- Mikroorganisme perusak makanan (kapang, kamir dan bakteri).
- Serangga perusak pangan.
Adapun tanda-tanda dari kerusakan berbagai bahan pakan akibat dari terinfeksinya bahan pakan dari mikroorganisme pathogen diantaranya yaitu :
- Perubahan kekenyalan pada produk-produk daging dan ikan, disebabkan pemecahan struktur daging oleh berbagai bakteri.
- Pelunakan tekstur pada sayur-sayuran, terutama disebabkan oleh Erwina carotovora, Pseudomonas marginalis, dan Sclerotinia sclerotiorum.
- Perubahan kekentalan pada susu, santan, dan lain-lain, disebabkan oleh penggumpalan protein dan pemisahan serum (skim).
- Pembentukan lendir pada produk-produk daging,ikan, dan sayuran, yang antara lain disebabkan oleh pertumbuhan berbagai mikroba seperti kamir, bakteri asam laktat (terutama oleh Lactobacillus, misalnya L. Viredences yng membentuk lendir berwarna hijau), Enterococcus, dan Bacillus thermosphacta. Pada sayuran pembentukan lendir sering disebabkan oleh P. marjinalis dan Rhizoctonia sp.
- Pembentukan asam, umumnya disebabkan oleh berbagai bakteri seperti Lactobacillus, Acinebacter, Bacillus, Pseudomonas, proteus, Microrocci, Clostidium, dan enterokoki.
- Pembentukan warna hijau pada produk-produk daging
- Pembentukan hidrogen peroksida (H2O2) oleh L. Viridescens, L. fructovorans, L.jensenii, Leuconostoc, Enterococcus faecium dan E.faecalis
- Pembentukan hidrogen sulfida (H2S) oleh Pseudomonas mephita, Shewanell putrefaciens, dan Lactobacillus sake.
- Pembentukan warna kuning pada produk-produk daging, disebabkan oleh Enterococcus cassliflavus dan E. mundtii.
- Pembentukan warna hitam pada sayuran, misalnya oleh Xanthomonas camprestis, Aspergillus niger, dan Ceratocystis frimbiata.
- Perubahan warna pada biji-bijian dan serealia karena pertumbuhan berbagai kapang, misalnya Penicillum sp. (biru-hijau), Aspergillus sp. (hijau), Rhizopus sp. (hitam), dan lain-lain.
- Perubahan bau, misalnya: Timbulnya bau busuk oleh berbagai bakteri karena terbentuknya amonia, H2S, Indol,dan senyawa-senyawa amin seperti diamin kadaverin dan putresin.
- Timbulnya bau anyir pada produk-produk ikan karena terbentuknya trimetilamin (TMA) dan histamin.
Tanda-tanda kerusakan tersebut diatas dapat menunjukkan perkiraan secara kasar jumlah mikroba yang terdapat di dalam bahan pangan.
Tanda-Tanda Kerusakan pada Daging dan Produk Daging
Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawasenyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme.
Daging yang rusak memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa. Diantara produk-produk metabolisme dari daging yang busuk, kadaverin dan putresin merupakan dua senyawa diamin yang digunakan sebagai indicator kebusukan daging.
Peningkatan konsentrasi kadaverin dan putresin umumnya terjadi secara nyata jika jumlah total mikroba mencapai 4x 107 koloni/g. Perubahan bau menyimpang (offodor) pada daging biasanya terjadi jika total bakteri pada permukaan daging mencapai 107,0-7,5 koloni/cm2, di ikuti dengan pembentukan lendir pada permukaan jika jumlah bakteri mencapai 107,5-8,0 koloni/cm2.
Putresin merupakan senyawa diamin yang diproduksi oleh pseudomonad, sedangkan kadaverin terutama doproduksi oleh Enterobacteaceae.
Tanda-Tanda Kerusakan pada Ikan dan Produk Ikan
Kerusakan pada ikan ditandai dengan terbentuknya trimetilamin (TMA) dari reduksi trimetilamin oksida (TMAO), sebagai berikut: H3C Trimetilamin-N-oksida N-CH3 H3C Trimetilamin TMAO merupakan komponen yang normal terdapat di dalam ikan laut, sedangkan pada ikan yang masih segar TMA hanya ditemukan dalam jumlah sangat rendah atau tidak ada.
Produksi TMA mungkin dilakukan oleh mikroorganisme, tetapi daging ikan juga mengandung enzim yang dapat mereduksi TMAO. Tidak semua bakteri mempunyai kemampuan yang sama dalam meruduksi TMAO menjadi TMA, dan reduksi tergantung dari pH ikan.
Histamin, diamin, dan senyawa volatil (total volatile substances) juga digunakan sebagai indikator kebusukan ikan. Histamin diproduksi dari asam amino histidan oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi oleh mikroorganismeaa: dekarbokdsilase
Histidin Histamin Histamin merupakan penyebab keracunan scromboid. Seperti halnya pada daging, kadaverin dan putresin merupakan diamin yang juga digunakan sebagai indikator kebisukan ikan. Senyawa voatil yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan termasuk TVB (total votatile bases), TVA (total volatile acids) TVS (total volateli substance), dan TVN (total volatile nitrogen).
Yang termasuk TVB adalah amonia, dimetilamin, dan trimetilamin, sedangkan TVN terdiri dari TVB dan senyawa nitrogen lainnya yang dihasilkan dari destilasi uap terhadap contoh, dan TVS atau VRS (volatile reducing substance) adalah senyawa hasil aerasi dari produk dan dapat mereduksi larutan alkalin permanganat.
Yang termasuk TVA adalah asam asetat, propionat dan asamasam organik lainnya. Batas TVN maxsimum untuk udang yang bermutu baik di Jepang dan Australia adalah 30 mg TVN/100g dengan maksimum 5 mg trimatilamin nitrogen/100g. Untuk produk-produk laut seperti oister, clamdan scallop, perubahan pH merupakan indikator kerusakan, yaitu pH 5,9-6,2 untuk produk yang masih baik, pH 5,8 sudah agak menyimpang, dan pH 5,2 atau kurang merupakan tanda kebusukan atau asam.
Tanda-Tanda Kerusakan pada Makanan Kaleng
Kerusakan makanan kaleng dipengaruhi oleh jenis makanan yang terdapat didalamnya dan mikroba perusak yang dialamnya. Pada dasarnya makanan kaleng dibedakan atas tiaga kelompok berdasarkan keasaman, yaitu:
- Makanan kaleng berasam rendah (pH>4,6), misalnya produk-produk daging dan ikan,suws, beberapa sayuran (jagung, buncis), dan masakan yang terdiri dari campuran daging dan sayuran (lodeh, gudeg, opor, dan lain-lain).
- Makanan kaleng asam (pH 3,7-4,6), misalnya produk-produk tomat, pear, dan produk-produk lain.
- Makanan kaleng berasam tinggi (pH<3,7), misalnya buah-buahan dan sayuran kaleng seperti jeruk, pikel, sauerkraut, dan lain-lain.
Pemeriksaan produk pangan |
Kerusakan bahan pangan dapat dideteksi dengan berbagai cara, yaitu:
- Uji organoleptik dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur atau kekenyalan, keketanlan, warna bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain.
- Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan, tekstur, indeks refraktif, dan lain-lain.
- Uji kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan komponen pangan oleh mikroba atau hasil dari reaksi kimia.
- Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan, MPN, dan mikroskopis. Uji mikrobiologi memerlukan banyak peralatan dengan persiapan dan uji yang cukup lama, oleh karena itu dianggap tidak praktis. Beberapa uji mikrobiologi telah dikembangkan dengan metode cepat, tetapi pada umumnya memerlukan peralatan yang mahal dan bahan kimia yang tidak mudah diperoleh.
Beberapa uji kimia juga memerlukan bahan kimia yang tidak murah dengan waktu uji yang agak lama. Dari berbagai uji kerusakan pangan tersebut di atas, beberapa uji yang di bawah ini dianggap cukup sederhana untuk diterapkan di daerah-daerah dengan fasilitas peralatan yang sederhana, yaitu:
- Uji organoleptik: melihat tanda-tanda kerusakan masing-masing produk yaitu:
- Perubahan kekenyalan/tekstur pada daging dan ikan.
- Perubahan kekentalan (viskositas) pada produk-produk cair seperti susu, santan sari, buah, sup, kaldu, dan lain-lain.
- Perubahan warna pada semua produk pangan.
- Perubahan bau pada semua produk pangan.
- Pembentukkan lendir pada semua produk pangan berkadar air tinggi (daging, ikan, sayuran, sup, kaldu, dan lain-lain).
- Uji fisik, yaitu:
- Perubahan pH pada semua bahan pangan dan produk pangan
- Perubahan viskositas (viskosimeter)
- Perubahan indeks refraktif pada air daging
- perubahan warna (chromameter)
- Perubahan tekstur (teksturometer)
- Uji kimia, yaitu:
- Uji H2S
- Uji TMA
- Uji VRS
- Uji reduksi nitrat
- Uji katalase
- Uji reduksi warna (pada susu dan santan)
- Uji etanol (pada susu)
- Uji mikrobiologis, yang paling sederhana dan cepat yaitu uji secara mikroskopis dengan menghitung jumlah mikroba.
Uji Reduksi Warna dengan Biru Metilen
Salah satu cara untuk menghitung jumlah sel di dalam contoh secara tidak langsung adalah dengan uji reduksi biru metilen. Uji reduksi biru metilen biasanya dilakukan terhadap susu, dan dapat memberikan perkiraan jumlah bakteri di dalam susu.
Contoh lainnya yang dapat diuji dengan cara pengujian biru metilen misalnya santan. Dalam uji ditambahkan sejumlah biru metilen ke dalam susu, kemudian diamati kemampuan bakteri di dalam susu untuk tumbuh dan menggunakan oksigen yang terlarut, sehingga menyebabkan penurunan kekuatan oksidasi-reduksi dari campuran tersebut.
Akibatnya, biru metilen yang ditambahkan ke dalam contoh akan tereduksi menjadi berwarna putih. Waktu reduksi, yaitu perubahan warna biru menjadi putih dianggap selesai jika kira-kira empat per lima dari contoh susu yang terdapat di dalam tabung (sebanyak 10 ml) telah bewarna putih.
Semakin tinggi jumlah bakteri di dalam contoh, semakin cepat terjadinya perubahan dari biru menjadi putih adalah karena Metode biru metilen merupakan cara yang lebih cepat dibandingkan dengan metode hitungan cawan yang memerlukan waktu beberapa hari untuk melihat hasilnya.
Kelemahan metode biru metilen cara ini tidak praktis dilakukan terhadap susu yang mengandung bakteri dalam jumlah sedikit, karena dibutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mereduksi biru metilen.
Kelemahan lainnya adalah karena dalam uji biru metilen diperlukan waktu pengamatan yang terus menerus, yaitu yang paling sedikit selama enam jam.
Dengan metode ini juga tidak dapat dibedakan jenis bakteri yang terdapat di dalam contoh, misalnya bakteri positif ayau negatif, bakteri pembentuk spora, kamir, dan sebagainya.
Pewarna lain yang dapat digunakan untuk uji reduksi warna dengan prinsip seperti biru metilen adalah resazurin, yang membutuhkan waktu reduksi lebih cepat daripada biru metilen. Dengan total bakteri di dalam contoh sebanyak >107 koloni/g dibutuhkan waktu kurang dari 2 jam untuk mereduksi resazurin, sedangkan dengan jumlah bakteri 1,8 Ñ… 104 koloni/g dibutuhkan waktu reduksi selama 5 jam.
Hitungan Mikroskopik
Perhitungan jumlah mikroba secara langsung menggunakan mikroskop sering digunakan untuk menganalisis susu mengandung bakteri dalam jumlah tinggi, misalnya susu yang diperoleh dari sapi yang terkena mastitis, yaitu suatu penyakit infeksi yang menyerang kelenjar susu sapi.
Cara ini merupakan suatu cara cepat, yaitu menghitung tidak dapat diterapkan terhadap contoh (susu atau santan) yang telah mengalami pasteurisasi, karena secara mikroskopik tidak dapat dibedakan antara sel-sel bakteri yang masih hidup atau yang telah mati karena perlakuan pasteurisasi. Dalam metode ini, luas areal pandang mikroskop yang akan digunakan harus dihitung terlebih dahulu.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengukur diameter areal pandang menggunakan mikrometer yang dilihat melalui lensa minyak imersi.
Untuk menghitung jumlah bakteri di dalam contoh, sebanyak 0,01 ml contoh dipipet dengan pipit Breed dan disebarkan di atas gelas obyek sehingga mencapai luas 1 cm2, kemudian didiamkan sampai kering, difiksasi, dan diwarnai dengan biru metilen.
Rata-rata jumlah bakteri per areal pandang mikrokop dihitung setelah mengamati 10 sampai 60 kali areal pandang, tergantung dari jumlah bakteri per areal pandang.
Sel-sel yang mengumpul dalam suatu kelompok, dihitung jumlah sel yang terdapat di dalam kelompok tersebut, tetapi jika tidak mungkin dapat dihitung sebagai satu kelompok.
Hasil perhitungan berdasarkan jumlah kelompok bakteri biasanya lebih mendekati hasil perhitungan jumlah bakteri menggunakan agar cawan. Pada sapi yang terserang mastitis, susunya biasanya mengandung sel-sel darah putih dalam jumlah tinggi. Setelah pewarnaan dengan biru metilen, sel-sel darah putih akan terlihat sebagai sel yang bulat atau berbentuk tidak teratur, bewarna biru dengan ukuran lebih besar daripada bakteri.
Mikrometer yang digunakan untukl mengukur luas areal pandang mikroskop adalah mikrometer gelas obyek yang mempunyai skala terkecil 0,01 mm. Areal pandang mikroskop biasanya mempunyai ukuran 14-16 skala atau 0,14-0,16 mm. Beberapa mikrokop mungkin mempunyai ukuran diameter areal pandang lebih dari 0,18 mm.
Luas areal pandang mikroskop = π r2 mm2 atau = π r2 / 100 cm2. Nilai r adalah jari-jari aral pandang mikroskop. Karena jumlah contoh yang disebarkan pada gelas obyek seluas 1 cm2 adalah 0,01 ml, maka: Jumlah susu per areal pandang mikroskop = π r2/100 x 0,01 ml = π r2/10.000 ml.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan 1 ml contoh dapat diperoleh dari 10.000/ π r2 kali areal pandang mikroskop. Angka 10.000/ π r2 disebut juga factor mikroskopik (FM),dan digunakan untuk mengubah jumlah bakteri per areal pandang mikroskop menjadi jumlah bakteri per ml sebagai berikut. Jumlah bakteri per ml contoh = 10.000/ π r2 x jumlah rata-rata.
Referensi :
Swacita, Ida Bagus Ngurah dan suardana, I Wayan. 2008. Buku ajar KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER (KESMAVET). Universitas Udayana
Labels:
Kesmavet & Zoonosis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar