Embriologi & Genetik

[Embriologi & Genetik][bsummary]

vehicles

[vehicles][bigposts]

business

[Embriologi & Genetik][twocolumns]

PENYAKIT AKABANE



Etiologi
Penyakit Akabane disebabkan oleh virus AKA yang termasuk dalam sub kelompok Simbuvirus dari famili Bunyaviridae. Virus AKA mempunyai diameter 70 130 mm yang terdiri dari 3 segmen ss-RNA dan mempunyai amplop yang terdiri dari glikoprotein. Adapun sifat dari virus ini : tidak tahan panas, dapat diinaktifkan dengan tripsin, akan menyebabkan cythopathic effect (CPE) bila ditanam pada jaringa BHK-21.

Epidemiologi
Di Indonesia, data serologis masih belum banyak diketahui. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa antibodi terhadap virus AKA dapat dideteksi pada ternak sapi, kambing, dan domba dengan persentase reaktor bervariasi tergantung spesies dan asal ternak. Kejadian pertama pada sapi – sapi impor asal Australia yang melahirkan pedet dengan gejala arthrogryposis, mumifikasi fetus, abortus, dan fetus dengan gejala hydrancephaly. Meskipun penyakit ini menyebabkan abortus, namun masih perlu dilakukan pengujian lebih mendalam pada suatu kasus abortus di daerah di Indonesia sebab abortus tidak hanya disebabkan oleh virus AKA tapi Brucella, Leptospira dan agen penyakit lainnya juga menyebabkan abortus.

Penularan
Penyakit Akabane merupakan penyakit Arbovirus yang ditularkan melalui serangga yaitu Culicoides brevitarsis, Culicoides oxystoma, Culex tritaeniorhynchus, Aedes vexans, dan Anopheles funestus.

Gejala klinis
Gejala klinis umumnya tidak terlihat pada ternak yang terinfeksi meskipun telah terjadi viremia. Ternak yang terinfeksi virus AKA sebelum bunting akan mempunyai antibodi dan tidak peka terhadap infeksi AKA selanjutnya. Sehingga apabila ternak tersebut bunting maka pedet tidak akan menampakkan gejal klinis dan kelainan bawaan. Sebaliknya pada ternak yang terinfeksi saat pertama kali bunting maka akan mengalami kelainan berupa abortus, disertai gejala kekakuan pada sendi kaki (arthrogryposis), pembesaran otak akibat penimbunan cairan (hydranencephaly), kesulitan melahirkan (distokia) yang serig disebabkan oleh arthrogryposis (AG) yang dapat menyebabkan kematian, hewan yang lahir mengalami ataksia, kebutaan, dysphagia namun pada induk tidak ditemukan gejala klinis. Arthrogryposis (AG) merupakan kerusakan pada otot kaki yang menyebabkan sendi – sendinya membengkok kedalam (flexion) atau keluar (extention) secara kaku dan tidak dapat diluruskan walaupun dipaksa. Tortikolis, skoliosis, dan kiposis terjadi sebagai hasil gangguan otot pada colum vertebral. Kerusakan pada sistem syaraf pusat janin yang terinfeksi yang terinfeksi sangat bervariasi tergantung tempat dan parahnya kerusakan sistem syaraf seperti : kebutaan, nystagmus (kekejangan disertai mata melotot), dan tidak dapat menyusui serta lumpuh.

Patologi anatomi
Patologi anatomi dari penyakit Akabane meliputi perbesaran cavum cranii oleh akumulasi cairan dan terjadi nekrosis pada ruang sendi karena viremia yang berdampak pada persendian. Selain pada ruang sendi, viremia juga berakibat pada tulang yang menyebabkan tulang berbentuk abnormal.

Diagnosa
Selain melihat gejala klinis, diagnosis juga mencaku isolasi virus, patologi anatomi, dan pemeriksaan serologis.
a)      Isolasi virus
Sampel yang digunakan untuk isolasi virus dapat berupa organ maupun serangga yang diduga sebagai vektor. Organ dapat berupa otak, cairan cerebral, sumsum tulang belakang, otot, amnion. Organ tersebut dibuat suspensi 10% dalam media nutrisi berantibiotik 200 IU penisilin dan 200 mg streptomisin. Suspensi disentrifuse untuk memisahkan supernatannya. Supernatan tersebut akan digunakan untuk isolasi virus AKA. Jika menggunakan sampel serangga, maka serangga yang telah diidentifikasi digerus dalam larutan penyangga phospat buffer saline (PBS) kemudian suspensi serangga dan supernatan akan digunakan untuk isolasi dengan menginokulasikannya pada bayi tikus putih atau hamster berumur 1 -2 hari secara intracerebral. Selain itu, juga dapat dipakai TAB yang disuntikkan secara intra kuning telur. Adapun kelainan embrio yang dapat dilihat berupa : kekerdilan, kelainan otak, perbesaran otak karena hydranencephaly, arthrogryposis, dan pembentukan abnormal pada kaki embryo.

b)      Pemeriksaan serologis
1.      Uji serum netralisasi (SN)
Uji serologis yang paling umum digunakan dengan menggunkan mikrotiter 96 lubang dengan menggunakan biakan jaringan Vero. Pada uji ini kelainan biakan jaringan berupa Cytopathic Effect (CE) dapat diamati.
2.      Uji Haemaglutinasi inhibisi (HI)
Uji ini sangat tergantung pH dan molaritas NaCl. Keuntungan dari uji ini adalah lebih cepat dan relatif lebih murah dibanding uji SN.
3.      Uji Agar Gel Immunodifusi (AGID)
Uji ini tidak sesensitif uji serum netralisasi. Uji ini dapat mendeteksi antibodi AKA, Aino, Tinaroo, dan Peaton yang termasuk dalam kelompok Simbu.
4.      Uji Fiksasi Komplemen (CF)
Disamping dapat mendeteksi antibodi terhadap virus AKA, uji Cf juga digunakan untuk mendeteksi kelompok virus Simbu dan dapat membandingkan hubungan antara kelompok virus Simbu. 

Diagnosa banding penyakit Akabane yaitu :
- Penyakit Bluetongue
- Aino
- Bovine Viral Diarhoca
- Mucosal Disease
- Wesselsbron
- Rift Walley Fever
  
Pengendalian (pencegahan)
Pencegahan infeksi AKA dapat dilakukan dengan 2 macam pendekatan. Pendekatan pertama ditunjukkan pada vektor penyakit dan pendekatan kedua ditunjukkan pada ternak yang peka. Yang termasuk dalam pendekatan pertama yaitu pemberantasan vektor penyakit dengan insektisida dan dengan sanitasi terpadu. Yang termasuk dalam pendekatan kedua yaitu vaksinasi berupa vaksin aktif dan inaktif. Di Indonesia, pencegahan dengan vaksinasi pada ternak lokal tidak dilakukan, mengingat gejala klinis yang ditimbulkan belum banyak dilaporkan . Namun perlu dipertimbangkan vaksinasi pada ternak sapi bunting muda yang akandiimpor ke Indonesia, terutama yang berasal dari daerah bebas AKA. Mengingat beberapa jenis serangga yang dapat bertindak sebagai vektor AKA, banyak ditemui di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar