Laporan Kasus Penyakit Canine Parvo Virus (CPV) case report
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Canine parvovirus juga dikenal sebagai penyakit muntaber pada anjing yang disebabkan oleh virus Canine parvovirus (CPV). Infeksi CPV pertama kali ditemukan pada tahun 1978 dimana diperkirakan merupakan mutasi dari feline parvovirus yang dikaitkan dengan feline pan leukopenia (Boah, 1999). Mutasi tersebut membuat virus ini menjadi lebih spesifik menyerang anjing.
Semua ras anjing berpotensi terserang Canine parvovirusterutama untuk ras Rottweiler, Dobermann, Golden Retriever, dan Labrador Retriever. Penyakit ini banyak menyerang anjing muda yaitu pada usia 6 minggu – 6 bulan, jantan maupun betina, dan anjing tua juga dapat terjangkit walaupun jarang terjadi.
Canine parvovirusadalah penyakit yang serius dan sangat berpotensi mematikan. Bila tidak segera dilakukan penanganan yang cepat dan tepat, Canine parvovirus dapat menyebabkan kerusakan yang semakin parah pada saluran pencernaan anjing dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian.
Walaupun pada saat ini belum tersedia obat untuk penyakit virus termasuk Canine parvovirus, sangat penting untuk melakukan penanganan atau perawatan yang cepat dan tepat agar infeksi sekunder dari bakteri lain tidak memperparah kondisi pasien.
Penyakit Canine parvovirus adalah penyakit yang mematikan pada anjing usia muda, tetapi bila dapat dikenali sedini mungkin dan dilakukan perawatan dengan cepat, maka kemungkinan untuk tertolong masih bisa.
Walaupun pada saat ini belum tersedia obat untuk penyakit virus termasuk Canine parvovirus, sangat penting untuk melakukan penanganan atau perawatan yang cepat dan tepat agar infeksi sekunder dari bakteri lain tidak memperparah kondisi pasien.
Penyakit Canine parvovirus adalah penyakit yang mematikan pada anjing usia muda, tetapi bila dapat dikenali sedini mungkin dan dilakukan perawatan dengan cepat, maka kemungkinan untuk tertolong masih bisa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit Canine parvovirus ?
2. Bagaimanakah tindakan yang harus dilakukan pada penanganan kejadian penyakit Canine parvovirus?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penyakit Canine parvovirus.
2. Untuk mengetahui tindakan yang harus dilakukan pada penanganan kejadian penyakit Canine parvovirus.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada mahasiswa Fakultas kedokteran Hewan Universitas Udayana tentang penyakit Canine parvovirus dan tindakan yang harus dilakukan pada penanganan kejadian penyakit Canine parvovirus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi Canine parvovirus
Parvovirus adalah virus yang termasuk family Pavoviridae. Parvo berasal dari kata parvus yang berarti kecil. Parvoviridae mempunyai virion ikosahedral dan genome ssDNA (single stranded DNA). Perkembangbiakan virus ini sangat tergantung pada sel inang yang sedang aktif membelah (Mc. Carthy, 1980).
Penyakit ini ditemukan pertama kali tahun 1977 di Texas, Amerika Serikat, kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia. Infeksi Canine parvivirus tidak hanya menyerang saluran pencernaan tetapi juga menyerang jantung yang dapat berakibat kematian mendadak pada anak anjing (Kelly, 1979).
Penyakit ini ditemukan pertama kali tahun 1977 di Texas, Amerika Serikat, kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia. Infeksi Canine parvivirus tidak hanya menyerang saluran pencernaan tetapi juga menyerang jantung yang dapat berakibat kematian mendadak pada anak anjing (Kelly, 1979).
Virus Canine Parvovirus (CPV) sangat stabil pada pH 3 sampai 9 dan pada suhu 60°C selama 60 menit. Karena virus ini tidak beramplop maka virus ini sangat tahan terhadap pelarut lemak, tetapi virus CPV menjadi inaktif dalam formalin 1%, beta-propiolakton, hidroksilamin, larutan hipoklorit 3%, dan sinar ultraviolet (Johnson end Spradbrow, 1979).
Ada dua tipe Parvovirus yang menginfeksi anjing yaitu Canine parvovirus 1 (CPV 1) dan Canine parvovirus 2 (CPV 2). Canine parvovirus-1 (CPV 1), juga dikenal sebagai “minute virus of canine”, yang relatif dikenal sebagai virus nonpatogenik yang kadang dihubungkan dengan gastroenteritis, pneumonitis, dan myokarditis di anak anjing yang sangat muda.
Canine parvovirus-2 (CPV-2) lebih dikenal sebagai enteritis klasik dari parvovirus (Tabor, 2011).
Canine parvovirus-2 (CPV-2) lebih dikenal sebagai enteritis klasik dari parvovirus (Tabor, 2011).
2.2 Patogenesa Canine parvovirus
Anjing segala umur dapat terinfeksi jika mengalami kekurangan atau kehilangan antibodi, akibat dari kurangnya antibodi maternal atau tidak divaksin. Berat ringannya penyakit ini tergantung umur, status imun/antibodi dari hewan penderita, juga tingkat stres dan penyakit lain yang ada, termasuk infestasi parasit (Lane & Cooper, 2003).
Penelitian Mildbrand et al., (1984) menunjukkan bahwa kandungan virus CPV pada feses dalam jumlah yang besar, cukup untuk menularkan penyakit CPV ke anjing lainnya. Dengan demikian feses merupakan salah satu bahan spesimen yang paling baik sebagai sumber penularan dan juga dapat digunakan untuk diagnosis CPV.
CPV ditularkan secara alami melalui kontak langsung dengan anjing yang terinfeksi CPV, atau makanan yang telah terkontaminasi virus CPV (Appel et al., 1980). Virus CPV dapat diekresikan melalui feses, air seni, air liur dan kemungkinan melalui muntah, transmisi penularan CPV dapat terjadi melalui makanan, piring, tempat tidur.
Penularan secara vertikal diduga dapat terjadi pada anjing yang sedang bunting (Appel et al., 1980). Virus yang menginvasi segera menghancurkan sel epitel selaput lendir maupun sumsum tulang yang sedang membelah (Subronto, 2006).
CPV ditularkan secara alami melalui kontak langsung dengan anjing yang terinfeksi CPV, atau makanan yang telah terkontaminasi virus CPV (Appel et al., 1980). Virus CPV dapat diekresikan melalui feses, air seni, air liur dan kemungkinan melalui muntah, transmisi penularan CPV dapat terjadi melalui makanan, piring, tempat tidur.
Penularan secara vertikal diduga dapat terjadi pada anjing yang sedang bunting (Appel et al., 1980). Virus yang menginvasi segera menghancurkan sel epitel selaput lendir maupun sumsum tulang yang sedang membelah (Subronto, 2006).
Derajat keparahan manifestasi klinis infeksi CPV sangat tergantung pada umur anjing yang terinfeksi. Makin muda umur anjing yang terinfeksi makin parah klinis yang dihasilkan.
Anjing berumur 3–4 minggu sel miosit pada jantung sedang aktif berkembang sehingga apabila pada umur tersebut anak anjing terinfeksi virus CPV, umumnya menyerang jantung yang berakibat kematian mendadak yang disebabkan oleh miokarditis, sehingga tipe yang ditimbulkan umumnya tipe miokarditis.
Sedangkan apabila infeksi CPV terjadi pada umur yang lebih tua, derajat pembelahan sel miosit mulai menurun tetapi derajat pembelahan sel mitotik pada kripta usus meningkat, terutama pada umur lebih dari 6 minggu, sehingga akibat infeksi ini diare dan muntah lebih banyak terlihat dibanding gangguan jantung dan tipe ini sering disebut tipe enteritis (Robinson et al., 1980).
Anjing berumur 3–4 minggu sel miosit pada jantung sedang aktif berkembang sehingga apabila pada umur tersebut anak anjing terinfeksi virus CPV, umumnya menyerang jantung yang berakibat kematian mendadak yang disebabkan oleh miokarditis, sehingga tipe yang ditimbulkan umumnya tipe miokarditis.
Sedangkan apabila infeksi CPV terjadi pada umur yang lebih tua, derajat pembelahan sel miosit mulai menurun tetapi derajat pembelahan sel mitotik pada kripta usus meningkat, terutama pada umur lebih dari 6 minggu, sehingga akibat infeksi ini diare dan muntah lebih banyak terlihat dibanding gangguan jantung dan tipe ini sering disebut tipe enteritis (Robinson et al., 1980).
Setelah virus masuk kedalam tubuh, virus kemudian bereplikasi dengan cepat didalam jaringan limfoid di tenggorokan dan kemudian menyebar ke aliran darah.
Sehingga menyebabkan terjadinya viremia. Setelah terjadi viremia virus bereplikasi dengan cepat didalam kelenjar getah bening, kripta usus dan sumsum tulang. Sehingga menyebabkan terjadinya deplesi limfosit pada kelenjar getah bening, nekrosis dan kerusakan pada kripta usus.
Ketika infeksi telah menyebar, gejala sakit mulai muncul. Setelah 3-4 hari pasca infeksi, virus akan dikeluarkan melalui kotoran sampai 3 minggu. Infeksi CPV pada anjing bisa menjadi lebih parah apabila diikuti dengan infeksi skunder (Fenner, 1995).
Sehingga menyebabkan terjadinya viremia. Setelah terjadi viremia virus bereplikasi dengan cepat didalam kelenjar getah bening, kripta usus dan sumsum tulang. Sehingga menyebabkan terjadinya deplesi limfosit pada kelenjar getah bening, nekrosis dan kerusakan pada kripta usus.
Ketika infeksi telah menyebar, gejala sakit mulai muncul. Setelah 3-4 hari pasca infeksi, virus akan dikeluarkan melalui kotoran sampai 3 minggu. Infeksi CPV pada anjing bisa menjadi lebih parah apabila diikuti dengan infeksi skunder (Fenner, 1995).
BAB III
REKAM MEDIK
3.1 Signalement
Telah diperiksa 1 (satu) ekoranjing mix, berjenis kelamin betina, berwarna cokelat putih. Anjing tersebut bernama Boni, berumur 5 Bulan dengan berat badan 2,4 kg. Anjing tersebut milik Ibu Sri yang beralamat di jalan Gambuk No. 11, Denpasar Barat.
3.2 Anamnesa
Menurut informasi pemilik, anjingnya pada pagi hari beraktifitas seperti biasa, nafsu makan normal. Pada siang hari anjing tiba-tiba muntah, isi muntahan tidak terdapat parasit maupun benda asing. Selanjutnya anjing tidak mampu untuk beraktifitas(lemas). Pada sore harinya anjing langsung berak bercampur darah hebat, darah yang terlihat berupa darah matang maupun segar dengan volume darah yang sangat banyak. Pakan yang diberikanuntuk anjing ini berupa nasi dandaging ayam yang telah direbus.
Anjing tersebut dipelihara dengan tidak dikandangkan atau dilepas secara bebas di lingkungan rumah pemilik bersama 12 anjing lainnya dengan ras yang sama. Sebelum Boni jatuh sakit, ada kejadian 3 anjing yang bernama Bruno, Osin dan Gary jatuh sakit dengan gejala klinis yang sama yaitu muntah dan berak darah, namun ketiga anjing tersebut tidak dapat tertolong. Setelah kejadian itu, pemilik berinisiatif untuk memisahkan pemeliharaan dengan menempatkan anjing yang masih kecil di lantai 2, dan anjing yang sudah indukan atau dewasa di lantai 1. Riwayat vaksin untuk Boni selama umur 5 Bulan ini, belum pernah divaksin tetapi untuk obat cacing pernah diberikan 1 kali.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik hewan kasus, terlihat mukosa mata pucat, turgor kulit lambat dan CRT lambat. sementara sistem pernafasan, otot, kelamin dan perkencingan, telinga, saraf, dan limfonodus tidak ada perubahan klinis.
Suhu tubuh anjing adalah 39,2°C dengan pulsus 152 x/menit dan frekuensi nafas 30 x/menit dengan berat badan 2,4 kg.
3.4 Uji Laboratorium
3.4.1 Pemeriksaan darah lengkap
Hematologi Rutin | Hasil | Nilai Rujukan | Satuan | Keterangan |
Hemoglobin | 22,8 | 12-18 | g/dl | Tinggi |
Leukosit | 2,2 | 6 -17 | x 103/mm3 | Rendah |
Eritrosit | 11,28 | 5,5 - 8,5 | x106/mm3 | Tinggi |
Trombosit | 820 | 200 – 900 | x 103/mm3 | Normal |
Hematokrit | 70,2 | 37 – 55 | % | Tinggi |
MCV | 62 | 60 – 77 | µm3 | Normal |
Jenis Leukosit
Hasil | Nilai Rujukan | Satuan | Keterangan | |
Neutrofil | 20 | 60-70 | % | Rendah |
Limfosit | 50 | 12-30 | % | Tinggi |
Monosit | 25 | 3-10 | % | Tinggi |
Eosinofil | 5 | 2 – 10 | % | Normal |
Basofil | Jarang | Jarang | % | Normal |
Perubahan yang terlihat pada pemeriksaan darah anjing yang bernama Boni menunjukkan penurunan pada leukosit (2,2 x 10³)dan neutrofil (20%). Sedangkan hasil berbeda ditunjukkan yaitu berupa kenaikan pada hemoglobin (22,8 g/dl), eritrosit (11,28 x106), limfosit (50%) dan monosit (25%).
3.4.2 Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses dilakukan sebanyak 2 kali, yang pertama yaitu pada saat pertama datang dan yang kedua setelah dilakukan perawatan selama 2 hari. Pada pemeriksaan didapatkan hasil yang negatif, yaitu tidak ditemukan telur cacing, cacing maupun protozoa.
3.5 Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, gejala klinis, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan feses maka dapat disimpulkan anjing bernama Boni di diagnosa suspect Canine parvovirus.
3.6 Prognosis
Berdasarkan diagnosa, hasil pemeriksaan dan gejala penyakit yang tampak, maka prognosis untuk kasus anjing Boni ini adalah Infausta.
3.7 Terapi
Berdasarkan diagnosis dan prognosis yang sudah ditetapkan, maka anjing mix ini diterapi dengan pemberian cairan elektrloit berupa ringer’s lactated dan glukosa, yang bertujuan untuk penanganan gejala muntah dan diare. Untuk pencegahan dari infeksi sekunder maupun peningkatkan kondisi dan daya tahan tubuh maka diberikan terapi, berupa pemberian Biosalamin, Guanistrep, Tivomit, dan Cotrimoxazole (Penghitungan dosis terlampir).Karena penyakit yang disebabkkan oleh infeksi virus pada saat ini belum tersedia obat yang spesifik (termasuk Canine parvovirus), maka penyakit yang didiagnosa disebabkan oleh virus pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan suportif.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN EVALUASI
4.1 Pembahasan
Berdasarkan hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, gejala klinis, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan feses maka dapat disimpulkan anjing mix bernama Boni di diagnosa menderita infeksi virus, yaitu suspect Canine parvovirus.
Gejala yang tampak pada anjing adalah muntah-muntah, tidak nafsu makan, lesu atau dehidrasi dan diare berdarah yang sangat hebat. Diare berdarah pada anjing yang terinfeksi Canine parvovirus disebabkan karena keluarnya darah dari perobekan pembuluh darah pada usus akibat gesekan dengan feses yang ada di dalam usus (Honkins, 1995).
Infeksi Canine parvovirus pada anjing untuk mortalitasnya belum diketahui secara pasti. Dikarenakan kebanyakan kasus infeksi Parvovirus diperparah dengan infeksi sekunder dari bakteri-bakteri Gram negatif yang ada pada saluran cerna, yang menyebabkan sepsis atau koagulasi di dalam darah (Wicaksono, 2009).
Hasil pemeriksaan darah menginterpretasikan terjadi polisitemia, leukopenia, neutropenia, limfositosis dan monositosis. Polisitemia berarti peningkatan jumlah sel darah (hemoglobin, eritrosit, trombosit) di dalam darah. Polisitemia bervariasi jenisnya, ada yang merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan hipertensi, obesitas, stress, hipoksia (kurangnya kadar oksigen dalam sel), ataupun memang karena adanya mutasi gen pada sel tunas yang terdapat di sumsum tulang. Pada kasus ini polisitemia yang terjadi karena adanya peningkatan pada jumlah hemoglobin dan eritrosit. Peningkatan ini terjadi karena dehidrasi, diare dan pendarahan hebat.Umumnya kondisi polisitemia hanya sementara dan dapat kembali normal asalkan penyebabnya diatasi (Sofro, 2012).
Pada pemeriksaan leukosit ditemukan adanya penurunan jumlah leukosit atau leukopenia. Leukopenia adalah suatu gambaran darah berupa penurunan jumlah leukosit dan hitung jenis neutrofil sampai mencapai nilai yang berada di bawah angka normal. Penyebab utama dari leukopenia antara lain : degenerasi, depresi, deplesi dan destruksi sumsum tulang. Sedangkan sebab-sebab khususnya seperti infeksi virus, kekurusan, agen fisik, agen kimiawi, gangguan hemopoietik dan shock anafilaksis (Dharmawan, 2002).
Neutropenia dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti :
1. Infeksi virus : penyakit viral yang biasanya ditandai dengan neutropenia adalah feline dan Canine parvovirus serta FIV.
2. Tingginya kerusakan neutrofil pada aliran darah, hal ini mungkin disebabkan neutropenia autoimun.
3. Berkurangnya produksi netrofil di sumsum tulang, kejadian ini terjadi akibat aplasia sumsum tulang belakang, dan biasanya terjadi bersamaan dengan anemia dan trombositopenia.
Pada kasus Boni ini, leukopenia dan neutropenia yang terjadi diakibatkan adanya infeksi dari canine parvovirus. Hal tersebut dapat dijelaskan dari gejala klinis yang cukup menciri pada infeksi Canine parvovirus, yaitu diare cair bercampur darah, muntah terus menerus, anoreksia, lemah, depresi, dehidrasi, shock, hipotermia dan melanjut kematian jika tidak ditangai dengan cepat dan tepat (Carthy, 1980).
Disamping leukopenia dan neutropenia, juga terjadi monositosis dan limfositosis. Menurut Dharmawan (2002), peningkatan monosit dalam darah dapat terjadi bersamaan dengan keadaan leukopenia dan juga pada saat anjing mengalami reaksi stres akut. Monosit berperan dalam peradangan yang bersifat subakut sampai kronis. Monosit akan melakukan fagositosis terhadap agen penyebab infeksi(Sofro, 2012).
Sedangkan limfositosis dalam darah biasanya terjadi ketika jumlah sel neutrofil mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena fungsi dari limfosit adalah menyediakan zat kebal untuk pertahanan tubuh. Peningkatan jumlah limfosit terjadi pada suatu individu yang terinfeksi virus dan kondisi dimana suatu individu terinfeksi penyakit kronis. Limfosit berperan dalam pertahanan humoral dengan membentuk antibodi, memproduksi enzym lipase dan protease, menyimpan dan mentransportasikan nukleo-protein untuk keperluan sel pada daerah yang megalami peradangan.
Terapi dengan cairan elektrolit (fluid electrolyte therapy) merupakan tindakan penting dan terutama di klinik dalam menghadapi kasus infeksi Canine parvovirus. Terapi cairan elektrolit ini harus diteruskan selama gejala muntah dan diare masih terjadi. Dalam keadaan yang berat disertai dehidrasi, infus elektrolit per intra vena menjadi opsi pertama.
Muntah dan diare akan menguras natrium chloride, bicarbonat, dan kalium, sehingga korban menderita acidosis. Dalam keadaan seperti ini larutan isotonik dengan elektrolit seimbang seperti lactated ringer’s solution, menjadi pilihan utama dan dimana perlu ditambahkan lagi larutan KCI karena unsur K banyak sekali hilang. Selain terapi infus lactated ringer’s solution dan larutan KCI, infus Glukosa juga diperlukan. Karena selain muntah dan diare, pada kasus ini, anjing kehilangan nafsu makan (anoreksia).
Pemberian Biosalamin pada kejadian ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi dan daya tahan tubuh. Biosalamin mengandung beberapa zat, seperti magnesium asparat, cyanokobalamin(vitamin B12), natrium selenit, adenosin trifosfat, asam deoksiribonukleat, dan kalium asparat. Peningkatan daya tahan tubuh penting agar aktivitas dalam tubuh berfungsi secara normal. Karena kelangsungan aktivitas tubuh tergantung pada energi, vitamin, garam-garam organik dan beberapa oligo elemen. Selain itu, daya tahan tubuh dibutuhkan untuk pertumbuhan, mencegah infeksi dan meluasnya penyakit serta menjadikan tubuh selalu dalam kondisi prima selama proses penyembuhan.
Pemberian Guanistrep bertujuan untuk pengobatan simptomatik pada diare, karena pencernaan yang tidak normal, dan diare karena penyebab lain yang tidak diketahui secara pasti atau mencegah infeksi sekunder. Guanistrep mengandung kaolin dan pektin. Kaolin adalah suatu absorben yang menyerap toksin baik yang berupa gas atau bahan beracun lainnya yang merangsang dari saluran usus, selanjutnya membentuk lapisan pelindung pada dinding usus. Sedangkan Pektinsebagai bahan yang berfungsi untuk menghilangkan hasil pertumbuhan bakteri yang bersifat racun, karena kemampuannya membentuk asam galakturonat dari kuman maka bisa berefek mematikan kuman yang merugikan.
Pemberian Tivomit syrup bertujuan untuk mengurangi gangguan saluran cerna seperti mual dan muntah. Tivomit berisi metoclopramid HCI yang bekerja dari saluran cerna bagian atas mirip dengan obat kolinergik, tetapi tidak seperti obat koliergik, metoklopramida tidak dapat menstimulasi sekresi dari lambung, empedu atau pank.reas, dan tidak dapat mempengaruhi konsentrasi gastrin serum. Cara kerja dari obat ini tidak jelas, kemungkinan bekerja pada jaringan yang peka terhadap asetilkolin. Efek dari metoklopramida pada motilitas usus tidak tergantung pada persarafan nervus vagus, tetapi dihambat oleh obat-obat antikolinergik. Metoklopramida dapat meningkatkan tonus dan amplitudo pada kontraksi lambung (terutama pada bagian antrum), merelaksasi sfingter pilorus dan bulbus duodenum, serta meningkatkan paristaltik dari duodenum dan jejunum sehingga dapat mempercepat pengosongan lambung dan usus. Mekanisme yang pasti dari sifat antiemetik metoklopramida tidak jelas, tapi mempengaruhi secara langsung CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) medulla yaitu dengan menghambat reseptor dopamin pada CTZ. Metoklopramida meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari gastrointestinal ke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis.
Pemberian Cotrimoxazole bertujuan untuk mengobati enteritisyang disebabkan oleh infeksi bakteri. Cotrimoxazole adalah antibiotik yang merupakan kombinasi Sulfamethoxazole dan Trimethoprim dengan perbandingan 5:1. Kombinasi tersebut mempunyai aktivitas bakterisida yang besar karena menghambat pada dua tahap sintesis asam nukleat dan protein yang sangat esensial untuk mikroorganisme. Cotrimoxazole mempunyai spektrum aktivitas luas dan efektif terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, misalnya Streptococci, Staphylococci, Pneumococci, Neisseria, Bordetella, Klebsiella, Shigella dan Vibrio cholerae. Cotrimoxazole juga efektif terhadap bakteri yang resisten terhadap antibakteri lain seperti H. influenzae, E. coli. P. mirabilis, P. vulgaris dan berbagai strain Staphylococcus.
Setelah dilakukan perawatan secara intensif, kondisi anjing bernama Boni mengalami kemajuan yang ditandai dengan kembalinya nafsu makan dan kondisi fisik yang semakin baik. Setelah diilakukan perawatan selama 4 hari di Rumah Sakit Hewan Udayana Sesetan, akhirnya pada hari yang ke-5, Boni bisa dibawa pulang oleh pemilik.
4.2 Kesimpulan
Pada kasus infeksi suspect Canine parvovirus dapat dilakukan terapi dengan menggunakan infuse ringer’s lactated, glukosa, dan ditambah dengan obat-obatan supportif dan simptomatis, seperti vitamin, dan antibiotik. Antivirus Canine parvovirus hingga saat ini belum ditemukan sehingga tindakan pencegahan berupa vaksinasi Parvovirusmerupakan tindakan yang paling efektif dilakukan sebagai pencegahan. Kandang, lingkungan tempat hewan, tempat makan maupun pakaian pemilik dapat menjadi media kontaminasi penyebaran penyakit yang meluas. Maka dari itu sebaiknya anjing dipelihara dengan cara dikandangkan, dirawat dan diperhatikan kesehatannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Appel, M.J.G., P. Meunier, R. Pollock, H. Greisen And L.E. Carmichael. 1980. Canine viral enteritis. A report to practisioners. Canine Pract. 7: 22–34.
Boah. 1999. Canine Parvovirus. Indiana Board of Animal Health. Tech Bullein CP-15.99. Indiana, USA.
Carthy, G. 1980. Canine parvovirus infection: A review. Irish Vet. J. 34 (2): 15−19.
Crook, A., Hill, B., Dawson, S. 2004. Canine Inherited Disorders Database. Revised: Desember 29, 2004.
Dharmawan, N.S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner. Universitas Udayana. Denpasar.
Eugster, A.K. 1980. Studien on canine parvovirus infections: development of an inactivated vaccine. Am. J.Vet.Res. 41: pp 2020–2024.
Fenner, F.J. 1995. Virologi veteriner. Edisi ke-2. Acedemic Press. Inc
Honkins, J.D. 1995. Canine Parvo virus, The Evolving Syndrome. Infectous Disease Bulletin.
Johnson, R.H and P.B. Spradbrow. 1979. Isolation from dogs with severe enteritis of a parvovirus related to feline panleucopenia virus. Aust. Vet. J., 55:151.
Kelly, W.R. 1979. Diffuse subacute myocarditis of possible viral etiology: a cause of sudden death in pups. Aust. Vet. J. 55:366.
Goddard,A dan A.L. Leisewitz. 2010. Canine Parvo Virus. Vet Clin Small Anim 40 (2010) 1041–1053.
Mc. Carthy, G. 1980. Canine parvovirus infection: A review. Irish Vet. J. 34 (2):15-19
Meunier, P.C., B.J. Cooper, M.J.G. Appel, D.O. Slauson.1985. Pathogenesis of canine parvovirus enteritis I. The important viraemia. Vet. Pathology. 22: pp60–71.
Robinson, W.F., C.R. Huxtable And D.A. Pass. 1980. Canine Parvoviral Myocarditis: A Morphological Description Of The Natural Disease. Vet. Path. 17: 282– 293.
Sendow, I. 2003. Canine parvovirus pada anjing. Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sofro, Abdul Salam M. (2012) Darah. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Tabor, B. 2011. Canine Parvovirus. Veterinary Technician. Media Animal Health. Vetlearn.com.
Truyen, U. 2000. Canine Parvovirus. International Veterinary Information Service (www.ivis.org).
Wicaksono, A. 2009. Parvovirus dan Distemper. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Widyastuti, S., Dewi, N. M. S., Utama, I. H. 2012. Kelainan Kulit Anjing Jalanan pada Beberapa Lokasi di Bali. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 4 No.2: 81-86.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Penghitungan Dosis Obat
1. Biosalamin inject
Bobot badan = 2,4 kg
Dosis aplikasi Biosalamin = 1 ml/10 kg
Dosisi yang diberikan = 0,5 ml
2. Guanistrep syrup (kaolin dan pektin)
= 2 mg/kg BB x 2.4 kg = 4,8 ml = 0,6 ml
40 mg/5 ml 8ml
Guanistrep syr fl. No. I
s.3.dd.1ml
3. Tivomit syrup (Metoclopramid Hcl)
= 1 mg/kg BB x 2,4 kg = 2,4 ml = 1,2 ml
2 ml 2 ml
Tivomit syr fl. No. I
s.3.dd.0,5 ml
4. Cotrimoxazole (Trimethropin dan sulfa methoxazole)
= 25 ml/kg BB x 2,4 kg = 60 ml = 7,5 ml
8 ml 8 ml
Cotrimoxazole syr fl. No. I
s.2.dd.3,5 ml
Lampiran 2
Dokumentasi Pasien
Anjing terlihat lemah pada saat perawatan
Feses yang masih ada sedikit darah bercampur dengan urin pada saat perawatan
Anjing terlihat lebih sehat setelah dibawah pulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar